Membolang Ke Teluk Tamiang

Posted: Sabtu, 27 September 2014 by Unknown in
4


Teluk Tamiang, sebuah destinasi wisata bahari yang sebetulnya sudah saya kenal sekitar hampir dua tahun yang lalu dari Iqbal yang tentunya langsung saya googling dan WOW! Saya tidak menyangka ada tempat seindah itu di Kalimantan Selatan. Sayang beribu sayang walaupun masih satu provinsi, Teluk Tamiang berada di Pulau Laut, terpisah dari pulau utama Kalimantan dan untuk soal jarak dari Ibukota Banjarmasin sudah tentu jauh sekali, keinginan membolang ke Teluk Tamiang akhirnya tenggelam.

Rute dari Banjarmasin ke teluk Tamiang
 Akhir Agustus 2014, Ummi melontarkan pertanyaan,

“Ada niat ke teluk tamiang?” 

“Ada, tapi gak tau cara & transportasi ke sana haha” 

Sebuah jawaban yang sebetulnya klise, dengan harapan kalau niatnya tiba-tiba hilang alasan masalah ketiadaan transportasi bisa dijadikan kambing hitam. Tapi yang selanjutnya diluar dugaan, Ummi mengirimkan link aditraveller, disana cukup jelas dan lengkap menerangkan cara untuk sampai ke Teluk Tamiang dan tentu saja saya tidak bisa berkutik lagi. . . . . .ternyata ada transportasi kesana.

Rencana awal kami berangkat Jumat tanggal 29, tapi sejak seminggu sebelumnya saya sudah cukup pusing untuk mengajak kawan-kawan yang lain untuk ikut serta bertualang, ada yang menolak mentah-mentah, ada yang mau ikut tapi mikir dulu, ada yang mau ikut tapi akhirnya batal. Hari Rabu atau H-2 kepala saya sudah sangat pusing dan mungkin Ummi juga sama pusingnya apalagi banyak kawan-kawan ladies yang awalnya mau ikut tapi akhirnya terkendala masalah perizinan. H-1 seharusnya kami sudah mesan tiket bus tapi setelah didiskusikan kami memutuskan untuk menunda keberangkatan menjadi Sabtu tanggal 30.

Saya berkonsultasi dengan kawan saya di Kotabaru untuk masalah pemilihan PO bus dan Yosi menyarankan menggunakan bus travel melati atau tiga putra. Hari Jumat Ummi ke terminal untuk membeli tiket tapi ternyata kedua bus tadi tidak punya jam keberangkatan yang kami inginkan, alhasil kami membeli tiket Mini Bus Terminal yang harganya 25% lebih murah dari PO Bus lain. Saya mengira bedanya bus travel dengan bus terminal selain beda harga hanyalah fasilitas antar jemputnya tapi ternyata saya salah, fasilitas AC dan kenyamanan tempat duduk juga berbeda, ditambah deru mesin mobil yang siap masuk ke gendang telinga. Ryan menoleh kearah bus yang sedang bongkar muat,

“kok yang barengan kita nenek-nenek semua ya……”





Jam 8 malam bus berangkat, perjalanan malam cukup nyaman dan membosankan. Jam 12 malam kami transit di warung makan di Asam-Asam, kami turun untuk meluruskan pinggang dan sekedar minum yang hangat-hangat, sementara Ummi dan Atul memesan makanan karena belum sempat makan sebelum berangkat. Kami sudah diingatkan Yosi tentang transit dan harga makanannya yang agak lebih mahal dan ternyata benar hahahahaha. Hampir jam 12.45 bus yang kami tumpangi memencet klakson sebagai tanda panggilan, ternyata mereka menunggu kami karena hanya kami yang belum naik, untung tidak ditinggalkan. Jam 2 subuh kami sampai di pelabuhan penyebrangan Batu Licin, lagi-lagi disini kalau bus-nya kejam bisa jadi Ummi dan Atul bakal ditinggalkan karena pas mereka lagi sholat Isya sekonyong-konyong kapal ferrynya datang dan siap bongkar muat.


Di atas ferry saya bertemu Dila, kebetulan Dila adalah kawan SMA saya yang berdinas di Kejaksaan Kota Baru dan hari itu dia baru balik dari Banjarmasin, selanjutnya saya menerangkan tujuan saya dan kawan-kawan untuk berwisata ke Teluk Tamiang, Dila langsung merespon ingin ikut serta kesana tapi kawan Dila yang orang asli Kota Baru yang juga ada dikapal itu mengingatkan tentang pekerjaan dinas hari Senin dan jarak ke Teluk Tamiang, dia yang orang asli Pulau Laut aja ogah buat kesana karena jaraknya yang jauh.


Jam 4 subuh akhirnya bus kami memasuki Kotabaru, para penumpang pun mulai turun di pemberhentiannya masing-masing (sekedar catatan sebelum berangkat kami sudah kontak salah satu supir angkutan desa yaitu Pa Bedu untuk mengangkut kami ke Teluk Tamiang dan beliau menyuruh kami menunggu di terminal Stagen), ketika tinggal satu penumpang lain selain kami di bus beliau (penumpang tersebut) bertanya,


“Kalian turun dimana?”

“Di Stagen Pak”

“Wah kelewatan sudah kalian”

“HAAAAAAAH!?”

“Iya kelewatan tadi disana itu, ada 10 kilo dari sini”

“kelewatan 10 kilo pak?”

“iya, baru pertama kali ke kota kah? Hehe”

Wajah-wajah bingung dan tegang terpampang nyata, karena janji dengan Pak Bedu meeting pointnya adalah di Terminal Stagen tapi karena sudah kelewatan 10 kilometer, kebingungan makin bertambah ketika saya bertanya pada Pak Awi (supir bus yang kami tumpangi),

“Pak, habis ini bapak balik arah lagi ke Pelabuhan?”

“Balik, kenapa? Memangnya kalian mau turun di mana? ”

“Anu pak, kami mau turun di Stagen . . . .”

“Waduh, sudah kelewatan tadi disana”
 
“Sebenernya nggak sih, duh 10 kilo, tapi kalo gak diantarkan kalian gimana lagi”

“. . . . . . . ehehehehe”

“Duh, jauh sudah kelewatan disana”

Ya, saya bisa menangkap rasa malas dari Pak Awi untuk mengantarkan kami dan saya maklum selain karena jaraknya yang lumayan hal ini juga dikarenakan kesalahan kami sendiri karena tidak ngomong dari awal,

“Kalian ini mau kemana sebetulnya?”

“Ke Lontar pak, mau ke Teluk Tamiang” jawab Ryan

“Biasanya ada tuh yang ngangkut penumpang disini, Pak Bedu itu kalo gak salah, biasanya ngangkut penumpang di samping gunung sini”

“Nah iya pak kami janji sama pak Bedu”

“Kalo pak Bedu ngangkut penumpang dari sini, di samping gunung, kalau di Stagen itu cuman buat ngangkut penumpang tambahan kalau masih ada kosong”

“hmmm gitu ya pak. . . .”


Dibalik respon “malas mengantar” dari Pak Awi, ada secercah harapan masih bisa ketemu Pak Bedu di samping gunung (sebutan untuk pangkalan sejenis terminal dalam kota), akhirnya kami minta diturunkan di Mesjid Raya Kotabaru karena waktu sudah hampir jam 5 masuk waktu Subuh, Pa Awi pun menunjukkan arah jalan yang harus kami ambil untuk sampai ke samping gunung nanti. Selesai Subuh Ryan menghubungi Pa Bedu dan beliau menyuruh untuk langsung saja nanti datang ke terminal samping gunung dan jam 9 berangkat, selamat, setidaknya menunggu di Masjid masih jauh lebih mendingan daripada harus menunggu di termina stagen yang tentunya masih sepi di jam seperti itu. Tak lama Yosi pun datang menyapa kami, pertanyaan yang saya dan Mujib ajukan tentunya dimana bisa mencari sarapan disekitar sini karena rasa lapar sudah mulai muncul.


Kami sarapan di warung nasi kuning yang tidak jauh dari Masjid, hanya beberapa langkah dari keluar pagar Masjid ada seorang Nenek, beliau sangat ramah dan kami pun makan sambil berbincang-bincang. Beliau orang asli Kotabaru tapi juga baru saja berlebaran di Banjarmasin ditempat anaknya, beliau bertanya kami mau kemana, tapi ketika kami jawab mau ke Teluk Tamiang beliau pun tidak tau itu dimana. Nasi kuningnya enak, hanya saja Mujib dan Atul harus menebusnya dengan harga 22 ribu hahahaha agak mahal tapi juga cukup wajar karena mereka berdua memilih lauk daging, sementara kami yang lauk telur kena harga 13 ribu. Selesai sarapan kami kembali ke Masjid untuk menunggu Pak Bedu sembari istirahat karena baru jam 7 pagi.

Singkat cerita jam 8.30 kami jalan kaki ke terminal samping gunung, menunggu sebentar dan Pak Bedu datang, dalam sekejap mobil Pak Bedu yang juga Mini Bus langsung penuh tidak bisa dibayangkan andai kami malah menunggu di Stagen, bisa-bisa tidak kebagian tempat. Semua sudah naik kecuali saya dan Mujib yang masih menunggu Yosi.
 

“Jib, itu Yosi?” sambil menunjuk orang yang dibonceng motor dari kejauhan 

“Iya Yosi itu, bajunya baju Yosi”

Ketika orang itu mendekat saya langsung mengangkat tangan untuk memanggil, tapi ternyata itu bukan Yosi cuma bajunya sangat mirip. Yosi belum datang dan akhirnya kami telepon, tak lama Yosi datang dengan dibonceng saya angkat tangan untuk memanggil dan ups, ternyata itu masih orang yang pertama tadi balik lagi. . . . ck ck ck ketipu dua kali. Akhirnya Yosi yang asli datang.

Jam 9 kami berangkat dari Kotabaru menuju Lontar, sebetulnya inilah perjalanan yang sesungguhnya. Perjalanan Banjarmasin-Kotabaru kami tadi malam bukanlah apa-apa walaupun memakan waktu hingga 10 jam tapi hal tersebut wajar karena jaraknya yang jauh sementara jarak Kotabaru-Lontar sebetulnya hanya 70 km tapi konon bisa memakan waktu hingga 4 sampai 5 jam, hal ini tak lepas dari kondisi jalan kesana yang akan membuat kita semua terguncang dalam artian sebenarnya.


Kondisi di dalam angkutan desa
Setelah satu setengah jam perjalanan kearah Lontar jalanan mulai akan kurang bersahabat walaupun tidak terlalu parah tapi sayangnya jalanan semakin lama akan semakin parah. Kebetulan saya, Atul, Ryan dan Ummi duduk di baris paling belakang dimana setiap guncangan akan sangat terasa, pantat terloncat satu jengkal dari kursi adalah hal yang tidak bisa kami hitung jumlahnya dan yang lebih parah adalah Ummi karena duduk di paling pojok kanan sehingga seringkali harus cipika cipiki dengan jendela, “DUK! BRAAK!! Aduuuuh!!” Sementara itu di baris depan kami ada seorang Ibu muda bersama anaknya yang sekitar 3 tahunan, beliau memang memperhatikan kami dari semenjak naik, mungkin karena semakin lama semakin penasaran dengan wajah-wajah asing atau juga sudah lelah dengan kata-kata “Aduh” yang kami keluarkan setiap terguncang beliau menanyakan mau kemana tujuan kami, akhirnya kami pun berbincang-bincang dan dari situ kami dapat informasi bahwa jalan yang sudah dilalui tadi belum ada apa-apanya, di depan sana jalanan yang lebih parah sudah menanti kami, oh ya, sempat juga membahas rumah hantu yang kami lewati ditengah perjalanan . . . . . . . .



Sesampainya di Lontar masing-masing penumpang turun di rumahnya masing-masing, saya berdiskusi dengan Pak Bedu agar mau mengantarkan kami ke Teluk Tamiang yang kira-kira masih lebih 5 km lagi, beliau deal diharga 65 ribu atau menambah 15 ribu rupiah dari tarif normal Kotabaru-Lontar, harga ini masih bisa dibilang murah karena ongkos ojek dari Lontar ke Teluk Tamiang adalah 35 ribu, lagipula kami jadi tidak perlu mencari ojek lagi.
Akhirnya kami sampai di Teluk Tamiang sekitar jam 2, terik matahari, suasana lengang desa, dan senyum ramah orang-orang disini menyambut kami, ada beberapa anak kecil yang menunjukkan dimana rumah Pambakal (istilah Kades/ Pemimpin dalam bahasa Banjar), kami mengetuk rumah dan disambut oleh Ibu Kades, saya tidak menyangka sambutan yang akan kami terima sangat hangat seperti ini,

“Ini yang kemarin menelpon dari Banjarmasin ya?”

“Iya bu, kami yang kemarin menelpon”

“Ayo ayoo masuk, silahkan masuk”


Pak Kades mempersilahkan kami duduk, kemudian kami pun mengutarakan tujuan kami datang kesini termasuk bertanya hal-hal penting seperti dimana kami bisa menginap selama berada disini, beliau mengarahkan kami ke rumah Ketua RT yang berada tepat di samping rumah beliau, katanya biasa orang-orang juga menginap disini karena memang merupakan salah satu rumah yang paling besar di kampung ini. Kebetulan Ketua RT sedang tidak ada ditempat, tapi istri beliau sudah memintakan izin kepada sepupunya dan sudah merapikan rumah sementara kami berbincang-bincang  tadi. 
 
Akhirnya kami mengangkut barang-barang ke rumah Pak RT dimana kami akan menginap, tapi disini Ummi baru sadar bahwa ada sesuatu yang hilang yaitu sebelah sepatunya, cukup bingung dan panik kami menyusuri jalan masuk kampung yang dilalui tadi kalau-kalau tercecer, tapi bisa juga tertinggal di bisnya Pak Bedu, akhirnya Ryan mencoba menelpon. Nah disini kalau ingin berkomunikasi sms, telepon, internetan kita harus melakukannya di dermaga, konon katanya karena daerahnya yang berbentuk teluk sinyal provider jadi susah ditangkap, saya berjalan kearah dermaga mendatangi Ryan yang sedang menelpon, dan ini lah pemandangan pantai yang pertamakali saya lihat,

Sayangnya sepatu Ummi masih tidak diketemukan baik dijalan maupun didalam bus, akhirnya kami memutuskan untuk memasak mie instan yang kami bawa karena perut sudah lapar, kami juga meminta izin untuk memakai kompor, dan suasana ini juga yang mungkin akan sangat saya rindukan, menyalakan kompor minyak tidak semudah menyalakan kompor gas, disini juga tidak ada PDAM jadi kami harus menimba dari air sumur (tenang saja, ini bukan sumur bor air tanah yang berair keruh tapi sumur serapan air laut jadi airnya payau dan jernih), menunggu air mendidih juga akan lebih terasa lamanya jika memakai kompor minyak, tapi tentu saja kami tidak merasa direpotkan, malah rasanya dapat pengalaman baru.


Pantai Teluk Tamiang

Jam baru menunjukkan jam 3 siang ketika kami selesai makan, cuaca masih panas terik tapi rasanya sudah tidak sabar untuk menginjakkan kaki di pantai, akhirnya setelah adzan Ashar kami sudah berada di pantai. Pantai disini berpasir putih, airnya biru jernih dan tak lupa warna tetumbuhan disini warna hijaunya sangat segar kontras dengan langit biru cerah, ya suasana disini terasa sudah diberi sentuhan camera360, jadi jika berfoto disini percayalah anda tidak perlu mengeditnya lagi. Kami menghabiskan sore berjalan dan berfoto-foto di pantai seakan lupa baru saja melalui perjalan melelahkan dengan total waktu hampir 18 jam. Pertama kami menjelajah pantai sebelah kanan dermaga, hampir di ujungnya terdapat batu-batu besar yang terhampar, cukup bagus untuk dijadikan spot foto. Ryan tidak berhenti menjelajah dan ingin meneruskan kearah batuan yang lebih ke ujung, tapi diperingatkan oleh anak-anak disana,


“Kalau disana bagus gak batu-batunya buat foto?”


“hi jangan! Disana ada hantunya”


“hah masa?”

Waduh, sepertinya kami menjelajah terlalu jauh. Setelah beberapa kali jepret kami kembali berjalan kearah dermaga, niatnya ingin menjelajah pantai sebelah kiri dermaga tapi baru saja bertanya, anak-anak kecil kembali memperingatkan kami


“Disebelah sana ada apa? Bagus gak?”


“hi jangan kesana, ada kuntilanak sering muncul”

Waduh waduh . . . . .
 


Berfoto bersama anak-anak Teluk Tamiang

Kami menghabiskan sisa sore kami diujung dermaga, wadah yang tepat untuk melihat matahari terbenam. Anak-anak disini terjun dari atas dermaga untuk berenang, termasuk Ryan dan Mujib yang sepertinya sudah tidak sabar merasakan basah air laut, sementara kami sisanya hanya sekedar foto-foto.

Matahari terbenam Teluk Tamiang


Setelah Magribh pun kami kembali ke dermaga untuk menghabiskan waktu, disana kami berbincang-bincang dengan Paman Facebook, banyak hal yang kami bicarakan tapi seperti biasa rasanya tidak afdol kalau obrolan malam hari tidak menyerempet hal-hal yang horror dan mistis. Oh ya pemandangan malam disini tidak kalah indah dibanding siang hari, hamparan bintang-bintang sangat jelas terlihat, tidak seperti dikota dimana polusi cahaya sudah tinggi. Derasnya angin laut membuat kami lapar, kami pun pamit untuk mencari makan. Awalnya kami menuju warung mie ayam di dekat masjid yang cukup ramai karena memang sudah masuk waktu sholat Isya. Baru saja mau memesan mie ayam tapi ternyata sudah habis akhirnya kami melanjutkan beberapa langkah dan berhenti di warung soto dan sop. Oh ya warung-warung makan disini bukanlah seperti warung makan kaki lima dipinggir jalan seperti di kota Banjarmasin, warung makan disini biasanya merupakan ada didepan rumah warga, tidak terlalu besar dan jumlah tempat duduk yang tidak banyak-banyak amat hanya muat sekitar 5 atau 8 orang, tapi karena posisinya ada didepan rumah jadi kami juga bisa memilih duduk lesehan diteras rumah warga, pokoknya santai.
Jam baru menunjukkan 9.10 malam, tapi suasana desa sudah cukup sunyi kami memutuskan untuk kembali ke rumah Pak RT dan menonton TV hanya saja memang tidak ada acara yang menarik, Atul sudah terlelap lebih dulu dan Ummi pun menyusul. Tersisa saya, Mujib dan Yosi di dalam rumah sementara Rian keluar lagi nyari angin.

“Baru jam 9, gak biasa tidur jam segini…”

“Iya biasa mahasiswa tidur jam 12…jam 1…”

Tapi adegan selanjutnya orang yang berkata tidak biasa tidur jam 9 ternyata adalah yang paling cepat tidurnya. 


Hari kedua di Teluk Tamiang, ayam berkokok mulai dari jam 4 subuh.




Menyambut matahari terbit di dermaga Teluk Tamiang, tentunya cukup dengan cuci muka dan tanpa mandi terlebih dahulu karena salah satu schedule kami hari ini adalah snorkling. Aktivitas kesibukan warga cukup terasa karena hari ini adalah Senin dimana banyak anak-anak yang berangkat kesekolah, kami bertanya dimana sekolahnya karena di desa ini kami tidak melihat ada bangunan sekolah, ternyata mereka bersekolah di desa tetangga tepatnya Lontar, tidak terlalu jauh memang hanya beberapa kilometer tapi jika ditempuh berjalan kaki dan mengingat jalannya yang naik turun, wah bisa basah keringat baju seragam saya kalau sekolah disini.
Pagi itu kami makan disalah satu warung yang menyediakan nasi kuning, (walaupun saya tidak terlalu yakin apakah ini nasi kuning atau nasi samin tapi enak!), dan wadai untuk. Wadai untuknya berukuran cukup besar dan ibu penjual yang baik menjadi kesan tersendiri bagi kami, ya para pedagang disini tidak aji mumpung mencoba meraup keuntungan, mendapatkan harga normal untuk pendatang seperti kami dan bahkan ketika Ryan meminta air hangat untuk dibuatkan kopi pun sang ibu menolak untuk dibayar.



Baru saja selesai makan Pak Kades menyapa saya dan menanyakan apakah sudah siap untuk menyebrang. Ya hari ini agenda kami adalah menyebrang ke Tanjung Kunyit dan snorkling, Pak Kades telah menyiapkan keperluan kami mulai dari kelotok hingga baju pelampung karena ada dua orang yang tidak bisa berenang diantara kami. Beliau menyuruh nanti langsung saja untuk ke dermaga kalau sudah selesai sarapan dan siap berangkat.

Dermaga Pantai Tanjung Kunyit
Sebetulnya saya ingin menyebrang memakai sampan biasa dan dikayuh karena Tanjung Kunyit sendiri bisa terlihat dari pantai, tapi ternyata cukup jauh, jika memakai kelotok memang bisa ditempuh kurang dari 15 menit, tapi jika dikayuh sendiri mungkin bisa jadi setengah jam lebih ditambah bonus tangan pegal dan kram. Nah, Tanjung Kunyit ini punya pantai yang tidak kalah bagus dibanding Teluk Tamiang, bahkan dibeberapa bagian pasirnya sangat putih hanya saja garis pantainya tidak sepanjang Teluk Tamiang, bercampur dengan daerah bakau dan tebing.

Ke Teluk Tamiang tidak afdol kalau belum naik ke mercusuar Tanjung Kunyit, dari bawah hingga naik keatas bukit mercusuar kami membutuhkan waktu sekitar 20 menit ditemani dengan paman kelotok yang menjadi guide menunjukkan jalan ke atas. Sekali lagi hal sederhana seperti ini yang membuat saya terkesan dengan keramahan warga disini, sebetulnya bisa saja beliau membiarkan kami yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini kebingungan mencari jalan sementara beliau santai menunggu di kelotok.

Mercusuar Tanjung Kunyit
Akhirnya kami sampai di pos penjaga mercusuar walaupun dalam perjalanan Ummi sedikit "tertatih" karena kekenyangan sementara Ryan dan Yosi ngebut untuk naik keatas mercusuar, setelah meminta izin dengan Bapak penjaga kami pun naik dan menikmati keindahan alam dari atas. Ya inilah alasan kenapa tidak afdol kalau tidak naik ke atas mercusuar, kapan lagi bisa selfie dengan background seindah ini?
Puas berfoto-foto kamipun turun karena tidak banyak aktifitas yang bisa dilakukan dari atas ketinggian seperti ini, gemeteran bro.

Dulu saya pernah membaca cerita yang cukup menyedihkan dari kehidupan seorang penjaga mercusuar, dan hari ini kami berkesempatan untuk berbincang-bincang langsung dengan salah satunya. Ternyata benar, contohnya seperti mercusuar Tanjung Kunyit ini yang berada diatas bukit, Bapak penjaga ini tinggal sendirian di pos penjagaan tanpa rekan ataupun keluarga, perkampungan penduduk di Tanjung Kunyit memang ada tapi di pinggiran pantai dan perlu waktu tempuh hampir 20 menit untuk naik ataupun turun. Menurut keterangan beliau tugas jaga mercusuar ini menggunakan sistem rolling, jadi nanti memang akan ada yang menggantikan tugas beliau jaga, tapi setiap 6 bulan sekali dan itupun paling cepat.

"Tinggal disini gimana Pak? Aman saja kah? Kan sepi nih Pak"

"Ya kalau sudah terbiasa sih biasa saja, tapi kalau malam itu banyak terdengar suara-suara malah hehehe...."

Oh ya di sekitar Tanjung Kunyit ini ada beberapa gugusan pulau, dua yang saya ingat, disebelah kanan ada Pulau Hantu (ini serius namanya seperti ini) sementara disebelah kiri ada Pulau Samu, pulau kecil yang bisa didatangi dengan berjalan kaki ketika air surut karena akan timbul jalan setapak untuk kesana cukup keren sayangnya kami tidak sempat mampir karena sudah tidak sabar untuk snorkling.


Sebetulnya menurut Paman kelotok spot snorkling yang bagus ada disebelah kanan Tanjung Kunyit, hanya ketika itu sudah hampir jam 10 dan air mulai surut sehingga kelotok bis terdampar, akhirnya kami hanya bisa mendatangi spot di daerah laut Teluk Tamiang,

Ada nemo
Satu persatu dari kami mulai asik menceburkan diri, menikmati pemandangan bawah air. Saya tidak bisa mendeskripsikan apa yang saya lihat langsung, rasanya seperti menonton TV tentang wisata bawah laut, hanya saja kali ini nonton TV nya sambil bernafas lewat mulut, ya, kita lagi snorkling bro!

Karang Teluk Tamiang
Hanya saja karang memang indah untuk dilihat, tapi tidak bersahabat jika terinjak, akhirnya tidak ada satupun dari kami yang tidak terluka. Oh ya, sebagian karang di daerah Teluk Tamiang ada yang rusak karena ditubruk oleh kapal tongkang pengangkut batubara, bahkan saking banyaknya tumpukan karang yang mati dan hancur sampai berbentuk daratan tersendiri yang cukup luas  sekitar 40 x 15 meter, sangat disayangkan memang.

Karang Teluk Tamiang
Ketika hendak kembali kepantai, kelotok yang kami tumpangi sempat terdampar karena airnya sudah terlalu surut, alhasil kami turun dan terjebak sekitar 100 meter dari bibir pantai haha, dengan beberapa perjuangan dan pengorbanan akhirnya memang kami bisa kembali ke pantai.

Singat cerita kami menikmati makan siang kami hari itu yaitu mie ayam dam soto disalah satu warung, cukuplah untuk mengganjal perut, kecuali Atul yang selain memesan soto dia juga nambah mie kuah indomie. Setelah itu kami kembali ke rumah Pak RT untuk istirahat, ya paket mendaki dan snorkling cukup membuat lelah. Sehabis Ashar Yosi, Ryan, Atul dan Mujib kembali berwara-wiri, kali ini melihat balai budidaya rumput laut dan kerapu ditemani keponakan Pak Kades, hanya saja saya dan Ummi tidak ikut wara wiri karena masih sedikit lelah dan hanya menghabiskan waktu sore ngobrol bersama warga sekitar dan menonton pertandingan voli oleh ibu-ibu disini.

Voli Pantai
Ketika malam tiba kami menghabiskan waktu dirumah Pak Kades sambil berbincang-bincang kami banyak bertanya mulai dari kenapa Pulau Hantu mendapatkan namanya seperti itu, hingga siapa yang menang pemilu presiden yang lalu. Setelah berbincang denga Pak Kades, Ryan, Mujib dan Atul akhirnya tidur, tersisa saya, Yosi dan Ummi kami pun mengobrol tanpa arah yang jelas sambil menunggu kantuk, mengisahkan kenapa sampai bisa masuk Fekon, walaupun yang paling epic menurut saya adalah kisah Yosi ketika dia pindah dari jurusan IPA ke IPS.

Hari ketiga, hari ini kami akan balik ke Kotabaru tapi karena harus mengejar bus travel jurusan Kotabaru-Banjarmasin yang berangkat lebih awal, tepatnya setelah Magribh maka Pak Kades menyarankan untuk naik angkutan desa yang berangkat pagi karena jika menunggu angkutan desa Pak Bedu yang datang siang bisa-bisa kami ketinggalan bus di Kotabaru. Beruntungnya Pak Kades punya kontak angkutan desa yang bisa kami tumpangi, bahkan kami dijemput di depan rumah Pak Kades, wow. Jam 7 kami berangkat, tentunya setelah berpamitan dan berfoto bersama keluarga Pak Kades, ketika kami naik ke angkutan desa banyak warga yang melambaikan tangan ke arah kami...dadah dadah, saya terharu.

The way back
Perjalanan kembali ke Kotabaru memakan waktu yang sama seperti saat berangkat, hampur 5 jam hanya saja entah kenapa terasa lebih singkat. Dalam perjalanan ini saya mecatat 3 momen penting banget tak terduga, pertama ketika masih didaerah pegunungan, Ummi tiba-tiba teriak ketakutan sambil menunjuk kearah depan, kami semua kaget, awalmya saya mengira ada penampakan di depan, atau monster yang siap menghadang tapi ternyata hanya bunglon kecil. Kedua ketika mau memasuki Kotabaru, entah kenapa didaerah sepi seperti ini ada razia polisi, saya kaget dan gugup karena pernah dua kali sepeda motor ditahan polisi karena tidak punya SIM, tapi untungnya supir angkutan desa yang kami tumpangi punya SIM. Dan yang terakhir ketika di daerah Stagen ternyata Ummi kembali berulah, entah karena apa hapenya loncat dan terjatuh, ya terjatuh dari mobil yang melaju kencang seperti ini, kami panik dan meminta supir untuk menepi, sementara Yosi meloncat dari mobil yang masih jalan, mungkin karena terinspirasi Dom di Fast Furious hanya saja rollingnya pas jatuh tidak sempurna, andaikan kamera standby pasti akan saya suruh ulang meloncatnya. Kemudian Ryan dan saya pun ikut turun mencari, orang-orang dipinggir jalan bingung melihat kami berlarian dan bertanya ada apa, sayapun mengatakan ada hape yang jatuh. Sekitar 100 meter berjalan saya sudah pasrah, karena Ryan dan Yosi yang berjalan beberapa puluh meter didepan belum ada menemukan hape yang di buang Ummi, tapi baru saja saya menunduk untuk mengambil nafas ternyata hapenya ada di kaki saya, langsung saya angkat tinggi-tinggi dengan wajah bahagia dan ingin rasanya melemparkannya ke Ummi tapi goresan di cassing BB nya sudah terlanjur banyak. Yosi yang sudah meniru film bahkan nyeletuk karena kecewa yang jatuh hanya BB,

"Wah yang jatuh BB kah, ku kira iPhone. Tau BB gak perlu dicari tadi."

Akhirnya kami sampai lagi di Kotabaru dan singgah di rumah Nenek Ummi, kami pun disuguhi sarapan nasi kuning karena memang hanya makan wadai untuk sejak pagi tadi. Setelahnya kami pun mandi dan beristirahat sambil nonton FTV yang kebetulan juga tentang pantai-pantai dan ada mercusuarnya, entah apa judulnya sejenis Pacarku Tertinggal di Bali atau apalah itu. Sementara kami istirahat Yosi menguruskan tiket bus travel untuk k Banjarmasin dan ketika datang lagi sudah membawakan oleh-oleh amplang untuk kami, belum afdol kalau ke Kotabaru tanpa membawa pulang amplang katanya. Sebelum bus menjemput kami disuruh makan lagi oleh Tantenya Ummi untuk mengisi perut selama perjalanan, bus akhirnya datang ketika Magribh dan setelah berpamitan kami pun berangkat meninggalkan Kotabaru. Dan akhirnya bus pun membawa kami kembali ke Banjarmasin tapi tentunya kami pulang dengan membawa cerita dan pengalaman berharga, dan oleh-oleh amplang.



Bonus:
Pas lagi di ferry penyebrangan saya, Mujib, Yosi dan Ryan nonton film Suzzana di dek atas sementara Ummi dan Atul menolak naik, tapi akhirnya ikutan naik. Filmnya lucu, masa bakpao bisa nambah misterius pedagangnya malah bahagia kayak meliat orang main sulap hahaha. Oke ini nggak penting.

4 komentar:

  1. Gan ada kontak kades ama supir pa bedu lah?

  1. Unknown says:

    Gan bisa minta kontak kades Dan supir bedu gak???

  1. Unknown says:

    Gan bisa minta kontak kades Dan supir bedu gak???

  1. Unknown says:

    Saya izin minta fotonya