Membolang Ke Teluk Tamiang
Posted: Sabtu, 27 September 2014 by Unknown in
Teluk Tamiang, sebuah destinasi wisata bahari yang sebetulnya sudah saya kenal sekitar hampir dua tahun yang lalu dari Iqbal yang tentunya langsung saya googling dan WOW! Saya tidak menyangka ada tempat seindah itu di Kalimantan Selatan. Sayang beribu sayang walaupun masih satu provinsi, Teluk Tamiang berada di Pulau Laut, terpisah dari pulau utama Kalimantan dan untuk soal jarak dari Ibukota Banjarmasin sudah tentu jauh sekali, keinginan membolang ke Teluk Tamiang akhirnya tenggelam.
Rute dari Banjarmasin ke teluk Tamiang |
“Ada niat ke teluk tamiang?”
“Ada, tapi gak tau cara & transportasi ke sana haha”
Sebuah jawaban yang sebetulnya klise, dengan harapan kalau niatnya tiba-tiba hilang alasan masalah ketiadaan transportasi bisa dijadikan kambing hitam. Tapi yang selanjutnya diluar dugaan, Ummi mengirimkan link aditraveller, disana cukup jelas dan lengkap menerangkan cara untuk sampai ke Teluk Tamiang dan tentu saja saya tidak bisa berkutik lagi. . . . . .ternyata ada transportasi kesana.
Rencana awal kami berangkat Jumat tanggal 29, tapi sejak seminggu sebelumnya saya sudah cukup pusing untuk mengajak kawan-kawan yang lain untuk ikut serta bertualang, ada yang menolak mentah-mentah, ada yang mau ikut tapi mikir dulu, ada yang mau ikut tapi akhirnya batal. Hari Rabu atau H-2 kepala saya sudah sangat pusing dan mungkin Ummi juga sama pusingnya apalagi banyak kawan-kawan ladies yang awalnya mau ikut tapi akhirnya terkendala masalah perizinan. H-1 seharusnya kami sudah mesan tiket bus tapi setelah didiskusikan kami memutuskan untuk menunda keberangkatan menjadi Sabtu tanggal 30.
Saya berkonsultasi dengan kawan saya di Kotabaru untuk masalah pemilihan PO bus dan Yosi menyarankan menggunakan bus travel melati atau tiga putra. Hari Jumat Ummi ke terminal untuk membeli tiket tapi ternyata kedua bus tadi tidak punya jam keberangkatan yang kami inginkan, alhasil kami membeli tiket Mini Bus Terminal yang harganya 25% lebih murah dari PO Bus lain. Saya mengira bedanya bus travel dengan bus terminal selain beda harga hanyalah fasilitas antar jemputnya tapi ternyata saya salah, fasilitas AC dan kenyamanan tempat duduk juga berbeda, ditambah deru mesin mobil yang siap masuk ke gendang telinga. Ryan menoleh kearah bus yang sedang bongkar muat,
“kok yang barengan kita nenek-nenek semua ya……”
Jam 8 malam bus berangkat, perjalanan malam
cukup nyaman dan membosankan. Jam 12 malam kami transit di warung makan di
Asam-Asam, kami turun untuk meluruskan pinggang dan sekedar minum yang
hangat-hangat, sementara Ummi dan Atul memesan makanan karena belum sempat
makan sebelum berangkat. Kami sudah diingatkan Yosi tentang transit dan harga
makanannya yang agak lebih mahal dan ternyata benar hahahahaha. Hampir jam
12.45 bus yang kami tumpangi memencet klakson sebagai tanda panggilan, ternyata
mereka menunggu kami karena hanya kami yang belum naik, untung tidak
ditinggalkan. Jam 2 subuh kami sampai di pelabuhan penyebrangan Batu Licin,
lagi-lagi disini kalau bus-nya kejam bisa jadi Ummi dan Atul bakal ditinggalkan
karena pas mereka lagi sholat Isya sekonyong-konyong kapal ferrynya datang dan
siap bongkar muat.
Di atas ferry saya bertemu Dila, kebetulan
Dila adalah kawan SMA saya yang berdinas di Kejaksaan Kota Baru dan hari itu
dia baru balik dari Banjarmasin, selanjutnya saya menerangkan tujuan saya dan
kawan-kawan untuk berwisata ke Teluk Tamiang, Dila langsung merespon ingin ikut
serta kesana tapi kawan Dila yang orang asli Kota Baru yang juga ada dikapal
itu mengingatkan tentang pekerjaan dinas hari Senin dan jarak ke Teluk Tamiang,
dia yang orang asli Pulau Laut aja ogah buat kesana karena jaraknya yang jauh.
Jam 4 subuh akhirnya bus kami memasuki
Kotabaru, para penumpang pun mulai turun di pemberhentiannya masing-masing
(sekedar catatan sebelum berangkat kami sudah kontak salah satu supir angkutan
desa yaitu Pa Bedu untuk mengangkut kami ke Teluk Tamiang dan beliau menyuruh
kami menunggu di terminal Stagen), ketika tinggal satu penumpang lain selain
kami di bus beliau (penumpang tersebut) bertanya,
“Kalian turun dimana?”
“Di Stagen Pak”
“Wah kelewatan sudah kalian”
“HAAAAAAAH!?”
“Iya kelewatan tadi disana itu, ada 10 kilo
dari sini”
“kelewatan 10 kilo pak?”
“iya, baru pertama kali ke kota kah? Hehe”
Wajah-wajah bingung dan tegang terpampang
nyata, karena janji dengan Pak Bedu meeting
pointnya adalah di Terminal Stagen tapi karena sudah kelewatan 10
kilometer, kebingungan makin bertambah ketika saya bertanya pada Pak Awi (supir
bus yang kami tumpangi),
“Pak, habis ini bapak balik arah lagi ke
Pelabuhan?”
“Balik, kenapa? Memangnya kalian mau turun
di mana? ”
“Anu pak, kami mau turun di Stagen . . . .”
“Waduh, sudah kelewatan tadi disana”
“Sebenernya nggak sih, duh 10 kilo, tapi
kalo gak diantarkan kalian gimana lagi”
“. . . . . . . ehehehehe”
“Duh, jauh sudah kelewatan disana”
Ya, saya bisa menangkap rasa malas dari Pak
Awi untuk mengantarkan kami dan saya maklum selain karena jaraknya yang lumayan
hal ini juga dikarenakan kesalahan kami sendiri karena tidak ngomong dari awal,
“Kalian ini mau kemana sebetulnya?”
“Ke Lontar pak, mau ke Teluk Tamiang” jawab
Ryan
“Biasanya ada tuh yang ngangkut penumpang
disini, Pak Bedu itu kalo gak salah, biasanya ngangkut penumpang di samping
gunung sini”
“Nah iya pak kami janji sama pak Bedu”
“Kalo pak Bedu ngangkut penumpang dari
sini, di samping gunung, kalau di Stagen itu cuman buat ngangkut penumpang
tambahan kalau masih ada kosong”
“hmmm gitu ya pak. . . .”
Dibalik respon “malas mengantar” dari Pak
Awi, ada secercah harapan masih bisa ketemu Pak Bedu di samping gunung (sebutan
untuk pangkalan sejenis terminal dalam kota), akhirnya kami minta diturunkan di
Mesjid Raya Kotabaru karena waktu sudah hampir jam 5 masuk waktu Subuh, Pa Awi
pun menunjukkan arah jalan yang harus kami ambil untuk sampai ke samping gunung
nanti. Selesai Subuh Ryan menghubungi Pa Bedu dan beliau menyuruh untuk
langsung saja nanti datang ke terminal samping gunung dan jam 9 berangkat,
selamat, setidaknya menunggu di Masjid masih jauh lebih mendingan daripada
harus menunggu di termina stagen yang tentunya masih sepi di jam seperti itu.
Tak lama Yosi pun datang menyapa kami, pertanyaan yang saya dan Mujib ajukan
tentunya dimana bisa mencari sarapan disekitar sini karena rasa lapar sudah
mulai muncul.
Kami sarapan di warung nasi kuning yang
tidak jauh dari Masjid, hanya beberapa langkah dari keluar pagar Masjid ada
seorang Nenek, beliau sangat ramah dan kami pun makan sambil berbincang-bincang.
Beliau orang asli Kotabaru tapi juga baru saja berlebaran di Banjarmasin
ditempat anaknya, beliau bertanya kami mau kemana, tapi ketika kami jawab mau
ke Teluk Tamiang beliau pun tidak tau itu dimana. Nasi kuningnya enak, hanya
saja Mujib dan Atul harus menebusnya dengan harga 22 ribu hahahaha agak mahal
tapi juga cukup wajar karena mereka berdua memilih lauk daging, sementara kami
yang lauk telur kena harga 13 ribu. Selesai sarapan kami kembali ke Masjid
untuk menunggu Pak Bedu sembari istirahat karena baru jam 7 pagi.
Singkat cerita jam 8.30 kami jalan kaki ke
terminal samping gunung, menunggu sebentar dan Pak Bedu datang, dalam sekejap
mobil Pak Bedu yang juga Mini Bus langsung penuh tidak bisa dibayangkan andai
kami malah menunggu di Stagen, bisa-bisa tidak kebagian tempat. Semua sudah
naik kecuali saya dan Mujib yang masih menunggu Yosi.
“Jib, itu Yosi?” sambil menunjuk orang yang
dibonceng motor dari kejauhan
“Iya Yosi itu, bajunya baju Yosi”
Ketika orang itu mendekat saya langsung mengangkat
tangan untuk memanggil, tapi ternyata itu bukan Yosi cuma bajunya sangat mirip.
Yosi belum datang dan akhirnya kami telepon, tak lama Yosi datang dengan
dibonceng saya angkat tangan untuk memanggil dan ups, ternyata itu masih orang
yang pertama tadi balik lagi. . . . ck ck ck ketipu dua kali. Akhirnya Yosi
yang asli datang.
Jam 9 kami berangkat dari Kotabaru menuju
Lontar, sebetulnya inilah perjalanan yang sesungguhnya. Perjalanan
Banjarmasin-Kotabaru kami tadi malam bukanlah apa-apa walaupun memakan waktu
hingga 10 jam tapi hal tersebut wajar karena jaraknya yang jauh sementara jarak
Kotabaru-Lontar sebetulnya hanya 70 km tapi konon bisa memakan waktu hingga 4
sampai 5 jam, hal ini tak lepas dari kondisi jalan kesana yang akan membuat
kita semua terguncang dalam artian sebenarnya.
Kondisi di dalam angkutan desa |
Sesampainya di Lontar masing-masing
penumpang turun di rumahnya masing-masing, saya berdiskusi dengan Pak Bedu agar
mau mengantarkan kami ke Teluk Tamiang yang kira-kira masih lebih 5 km lagi,
beliau deal diharga 65 ribu atau
menambah 15 ribu rupiah dari tarif normal Kotabaru-Lontar, harga ini masih bisa
dibilang murah karena ongkos ojek dari Lontar ke Teluk Tamiang adalah 35 ribu,
lagipula kami jadi tidak perlu mencari ojek lagi.
Akhirnya kami sampai di Teluk Tamiang
sekitar jam 2, terik matahari, suasana lengang desa, dan senyum ramah
orang-orang disini menyambut kami, ada beberapa anak kecil yang menunjukkan
dimana rumah Pambakal (istilah Kades/ Pemimpin dalam bahasa Banjar), kami
mengetuk rumah dan disambut oleh Ibu Kades, saya tidak menyangka sambutan yang
akan kami terima sangat hangat seperti ini,
“Ini yang kemarin menelpon dari Banjarmasin
ya?”
“Iya bu, kami yang kemarin menelpon”
“Ayo ayoo masuk, silahkan masuk”
Pak Kades mempersilahkan kami duduk, kemudian kami pun mengutarakan tujuan kami datang kesini termasuk bertanya hal-hal penting seperti dimana kami bisa menginap selama berada disini, beliau mengarahkan kami ke rumah Ketua RT yang berada tepat di samping rumah beliau, katanya biasa orang-orang juga menginap disini karena memang merupakan salah satu rumah yang paling besar di kampung ini. Kebetulan Ketua RT sedang tidak ada ditempat, tapi istri beliau sudah memintakan izin kepada sepupunya dan sudah merapikan rumah sementara kami berbincang-bincang tadi.
Akhirnya kami mengangkut barang-barang ke
rumah Pak RT dimana kami akan menginap, tapi disini Ummi baru sadar bahwa ada
sesuatu yang hilang yaitu sebelah sepatunya, cukup bingung dan panik kami
menyusuri jalan masuk kampung yang dilalui tadi kalau-kalau tercecer, tapi bisa
juga tertinggal di bisnya Pak Bedu, akhirnya Ryan mencoba menelpon. Nah disini
kalau ingin berkomunikasi sms, telepon, internetan kita harus melakukannya di
dermaga, konon katanya karena daerahnya yang berbentuk teluk sinyal provider
jadi susah ditangkap, saya berjalan kearah dermaga mendatangi Ryan yang sedang
menelpon, dan ini lah pemandangan pantai yang pertamakali saya lihat,
Sayangnya sepatu Ummi masih tidak
diketemukan baik dijalan maupun didalam bus, akhirnya kami memutuskan untuk
memasak mie instan yang kami bawa karena perut sudah lapar, kami juga meminta
izin untuk memakai kompor, dan suasana ini juga yang mungkin akan sangat saya
rindukan, menyalakan kompor minyak tidak semudah menyalakan kompor gas, disini
juga tidak ada PDAM jadi kami harus menimba dari air sumur (tenang saja, ini
bukan sumur bor air tanah yang berair keruh tapi sumur serapan air laut jadi airnya
payau dan jernih), menunggu air mendidih juga akan lebih terasa lamanya jika
memakai kompor minyak, tapi tentu saja kami tidak merasa direpotkan, malah
rasanya dapat pengalaman baru.
Pantai Teluk Tamiang |
Jam baru menunjukkan jam 3 siang ketika kami selesai makan, cuaca masih panas terik tapi rasanya sudah tidak sabar untuk menginjakkan kaki di pantai, akhirnya setelah adzan Ashar kami sudah berada di pantai. Pantai disini berpasir putih, airnya biru jernih dan tak lupa warna tetumbuhan disini warna hijaunya sangat segar kontras dengan langit biru cerah, ya suasana disini terasa sudah diberi sentuhan camera360, jadi jika berfoto disini percayalah anda tidak perlu mengeditnya lagi. Kami menghabiskan sore berjalan dan berfoto-foto di pantai seakan lupa baru saja melalui perjalan melelahkan dengan total waktu hampir 18 jam. Pertama kami menjelajah pantai sebelah kanan dermaga, hampir di ujungnya terdapat batu-batu besar yang terhampar, cukup bagus untuk dijadikan spot foto. Ryan tidak berhenti menjelajah dan ingin meneruskan kearah batuan yang lebih ke ujung, tapi diperingatkan oleh anak-anak disana,
“Kalau
disana bagus gak batu-batunya buat foto?”
“hi jangan! Disana ada hantunya”
“hah masa?”
Waduh, sepertinya kami menjelajah terlalu
jauh. Setelah beberapa kali jepret kami kembali berjalan kearah dermaga,
niatnya ingin menjelajah pantai sebelah kiri dermaga tapi baru saja bertanya,
anak-anak kecil kembali memperingatkan kami
“Disebelah sana ada apa? Bagus gak?”
“hi jangan kesana, ada kuntilanak sering
muncul”
Waduh waduh . . . . .
Berfoto bersama anak-anak Teluk Tamiang |
Kami menghabiskan sisa sore kami diujung dermaga, wadah yang tepat untuk melihat matahari terbenam. Anak-anak disini terjun dari atas dermaga untuk berenang, termasuk Ryan dan Mujib yang sepertinya sudah tidak sabar merasakan basah air laut, sementara kami sisanya hanya sekedar foto-foto.
Matahari terbenam Teluk Tamiang |
Setelah Magribh pun kami kembali ke dermaga
untuk menghabiskan waktu, disana kami berbincang-bincang dengan Paman Facebook,
banyak hal yang kami bicarakan tapi seperti biasa rasanya tidak afdol kalau
obrolan malam hari tidak menyerempet hal-hal yang horror dan mistis. Oh ya
pemandangan malam disini tidak kalah indah dibanding siang hari, hamparan
bintang-bintang sangat jelas terlihat, tidak seperti dikota dimana polusi
cahaya sudah tinggi. Derasnya angin laut membuat kami lapar, kami pun pamit
untuk mencari makan. Awalnya kami menuju warung mie ayam di dekat masjid yang
cukup ramai karena memang sudah masuk waktu sholat Isya. Baru saja mau memesan
mie ayam tapi ternyata sudah habis akhirnya kami melanjutkan beberapa langkah
dan berhenti di warung soto dan sop. Oh ya warung-warung makan disini bukanlah
seperti warung makan kaki lima dipinggir jalan seperti di kota Banjarmasin,
warung makan disini biasanya merupakan ada didepan rumah warga, tidak terlalu
besar dan jumlah tempat duduk yang tidak banyak-banyak amat hanya muat sekitar
5 atau 8 orang, tapi karena posisinya ada didepan rumah jadi kami juga bisa
memilih duduk lesehan diteras rumah warga, pokoknya santai.
Jam baru menunjukkan 9.10 malam, tapi
suasana desa sudah cukup sunyi kami memutuskan untuk kembali ke rumah Pak RT
dan menonton TV hanya saja memang tidak ada acara yang menarik, Atul sudah
terlelap lebih dulu dan Ummi pun menyusul. Tersisa saya, Mujib dan Yosi di
dalam rumah sementara Rian keluar lagi nyari angin.
“Baru jam 9, gak biasa tidur jam segini…”
“Iya biasa mahasiswa tidur jam 12…jam 1…”
Tapi adegan selanjutnya orang yang berkata
tidak biasa tidur jam 9 ternyata adalah yang paling cepat tidurnya.
Hari kedua di Teluk Tamiang, ayam berkokok
mulai dari jam 4 subuh.
Menyambut matahari terbit di dermaga Teluk
Tamiang, tentunya cukup dengan cuci muka dan tanpa mandi terlebih dahulu karena
salah satu schedule kami hari ini adalah snorkling. Aktivitas kesibukan warga
cukup terasa karena hari ini adalah Senin dimana banyak anak-anak yang
berangkat kesekolah, kami bertanya dimana sekolahnya karena di desa ini kami
tidak melihat ada bangunan sekolah, ternyata mereka bersekolah di desa tetangga
tepatnya Lontar, tidak terlalu jauh memang hanya beberapa kilometer tapi jika
ditempuh berjalan kaki dan mengingat jalannya yang naik turun, wah bisa basah
keringat baju seragam saya kalau sekolah disini.
Pagi itu kami makan disalah satu warung yang
menyediakan nasi kuning, (walaupun saya tidak terlalu yakin apakah ini nasi
kuning atau nasi samin tapi enak!), dan wadai untuk. Wadai untuknya berukuran
cukup besar dan ibu penjual yang baik menjadi kesan tersendiri bagi kami, ya
para pedagang disini tidak aji mumpung mencoba meraup keuntungan, mendapatkan harga normal untuk pendatang seperti kami dan bahkan ketika Ryan meminta air hangat untuk dibuatkan kopi pun sang ibu menolak untuk dibayar. Baru saja selesai makan Pak Kades menyapa saya dan menanyakan apakah sudah siap untuk menyebrang. Ya hari ini agenda kami adalah menyebrang ke Tanjung Kunyit dan snorkling, Pak Kades telah menyiapkan keperluan kami mulai dari kelotok hingga baju pelampung karena ada dua orang yang tidak bisa berenang diantara kami. Beliau menyuruh nanti langsung saja untuk ke dermaga kalau sudah selesai sarapan dan siap berangkat.
Dermaga Pantai Tanjung Kunyit |
Ke Teluk Tamiang tidak afdol kalau belum naik ke mercusuar Tanjung Kunyit, dari bawah hingga naik keatas bukit mercusuar kami membutuhkan waktu sekitar 20 menit ditemani dengan paman kelotok yang menjadi guide menunjukkan jalan ke atas. Sekali lagi hal sederhana seperti ini yang membuat saya terkesan dengan keramahan warga disini, sebetulnya bisa saja beliau membiarkan kami yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini kebingungan mencari jalan sementara beliau santai menunggu di kelotok.
Mercusuar Tanjung Kunyit |
Puas berfoto-foto kamipun turun karena tidak banyak aktifitas yang bisa dilakukan dari atas ketinggian seperti ini, gemeteran bro.
Dulu saya pernah membaca cerita yang cukup menyedihkan dari kehidupan seorang penjaga mercusuar, dan hari ini kami berkesempatan untuk berbincang-bincang langsung dengan salah satunya. Ternyata benar, contohnya seperti mercusuar Tanjung Kunyit ini yang berada diatas bukit, Bapak penjaga ini tinggal sendirian di pos penjagaan tanpa rekan ataupun keluarga, perkampungan penduduk di Tanjung Kunyit memang ada tapi di pinggiran pantai dan perlu waktu tempuh hampir 20 menit untuk naik ataupun turun. Menurut keterangan beliau tugas jaga mercusuar ini menggunakan sistem rolling, jadi nanti memang akan ada yang menggantikan tugas beliau jaga, tapi setiap 6 bulan sekali dan itupun paling cepat.
"Tinggal disini gimana Pak? Aman saja kah? Kan sepi nih Pak"
"Ya kalau sudah terbiasa sih biasa saja, tapi kalau malam itu banyak terdengar suara-suara malah hehehe...."
Oh ya di sekitar Tanjung Kunyit ini ada beberapa gugusan pulau, dua yang saya ingat, disebelah kanan ada Pulau Hantu (ini serius namanya seperti ini) sementara disebelah kiri ada Pulau Samu, pulau kecil yang bisa didatangi dengan berjalan kaki ketika air surut karena akan timbul jalan setapak untuk kesana cukup keren sayangnya kami tidak sempat mampir karena sudah tidak sabar untuk snorkling.
Sebetulnya menurut Paman kelotok spot snorkling yang bagus ada disebelah kanan Tanjung Kunyit, hanya ketika itu sudah hampir jam 10 dan air mulai surut sehingga kelotok bis terdampar, akhirnya kami hanya bisa mendatangi spot di daerah laut Teluk Tamiang,
Ada nemo |
Karang Teluk Tamiang |
Karang Teluk Tamiang |
Singat cerita kami menikmati makan siang kami hari itu yaitu mie ayam dam soto disalah satu warung, cukuplah untuk mengganjal perut, kecuali Atul yang selain memesan soto dia juga nambah mie kuah indomie. Setelah itu kami kembali ke rumah Pak RT untuk istirahat, ya paket mendaki dan snorkling cukup membuat lelah. Sehabis Ashar Yosi, Ryan, Atul dan Mujib kembali berwara-wiri, kali ini melihat balai budidaya rumput laut dan kerapu ditemani keponakan Pak Kades, hanya saja saya dan Ummi tidak ikut wara wiri karena masih sedikit lelah dan hanya menghabiskan waktu sore ngobrol bersama warga sekitar dan menonton pertandingan voli oleh ibu-ibu disini.
Voli Pantai |
Hari ketiga, hari ini kami akan balik ke Kotabaru tapi karena harus mengejar bus travel jurusan Kotabaru-Banjarmasin yang berangkat lebih awal, tepatnya setelah Magribh maka Pak Kades menyarankan untuk naik angkutan desa yang berangkat pagi karena jika menunggu angkutan desa Pak Bedu yang datang siang bisa-bisa kami ketinggalan bus di Kotabaru. Beruntungnya Pak Kades punya kontak angkutan desa yang bisa kami tumpangi, bahkan kami dijemput di depan rumah Pak Kades, wow. Jam 7 kami berangkat, tentunya setelah berpamitan dan berfoto bersama keluarga Pak Kades, ketika kami naik ke angkutan desa banyak warga yang melambaikan tangan ke arah kami...dadah dadah, saya terharu.
The way back |
"Wah yang jatuh BB kah, ku kira iPhone. Tau BB gak perlu dicari tadi."
Akhirnya kami sampai lagi di Kotabaru dan singgah di rumah Nenek Ummi, kami pun disuguhi sarapan nasi kuning karena memang hanya makan wadai untuk sejak pagi tadi. Setelahnya kami pun mandi dan beristirahat sambil nonton FTV yang kebetulan juga tentang pantai-pantai dan ada mercusuarnya, entah apa judulnya sejenis Pacarku Tertinggal di Bali atau apalah itu. Sementara kami istirahat Yosi menguruskan tiket bus travel untuk k Banjarmasin dan ketika datang lagi sudah membawakan oleh-oleh amplang untuk kami, belum afdol kalau ke Kotabaru tanpa membawa pulang amplang katanya. Sebelum bus menjemput kami disuruh makan lagi oleh Tantenya Ummi untuk mengisi perut selama perjalanan, bus akhirnya datang ketika Magribh dan setelah berpamitan kami pun berangkat meninggalkan Kotabaru. Dan akhirnya bus pun membawa kami kembali ke Banjarmasin tapi tentunya kami pulang dengan membawa cerita dan pengalaman berharga, dan oleh-oleh amplang.
Bonus:
Pas lagi di ferry penyebrangan saya, Mujib, Yosi dan Ryan nonton film Suzzana di dek atas sementara Ummi dan Atul menolak naik, tapi akhirnya ikutan naik. Filmnya lucu, masa bakpao bisa nambah misterius pedagangnya malah bahagia kayak meliat orang main sulap hahaha. Oke ini nggak penting.
Gan ada kontak kades ama supir pa bedu lah?